Lebih baik sakit gigi atau sakit hati? Saya sih enggak dua-duanya deh. Meskipun sakit hati jauh lebih menyesakkan dada, tapi sakit gigi juga ternyata sangat menyiksa. Sudah sebulan ini saya menderita sakit gigi karena ada gigi geraham yang berlubang. Sakitnya pertama kali muncul ketika bulan Ramadhan. Namun karena sedang puasa, saya tunda kunjungan ke dokter giginya sampai Lebaran.
Tadinya mau periksa di temannya Mamah, tapi malu ah. Akhirnya kemarin saya putuskan untuk periksa di Puskesmas saja, sekalian mencoba BPJS yang belum pernah dimanfaatkan.
Kata dokternya, ada radang di gusi saya. Makanya sebelum mulai perawatan, saya diberi obat dulu berupa antibiotik (Ciprofloxacin) dan antinyeri (Ibuprofen). Pulang ke rumah, langsung saya makan obatnya. Di dalam hati, saya memuji dokter tersebut. Karena seumur hidup, baru sekarang ada dokter yang lebih dulu menanyakan apakah saya mempunyai riwayat alergi terhadap obat atau tidak. Biasanya saya yang harus selalu berinisiatif menceritakan riwayat alergi obat saya setiap dokter hendak menuliskan resep obat. Ya, selain mempunyai riwayat alergi udara dan alergi stres, saya juga mempunyai riwayat alergi obat.
Tentang Alergi Obat
Alergi obat terjadi karena sistem kekebalan tubuh bereaksi secara berlebihan (hipersensitif) terhadap obat yang dikonsumsi. Penyebabnya belum dapat dipastikan. Bisa karena faktor genetik, ayah saya memang alergi makanan (udang). Bisa juga karena daya tahan tubuh yang sedang lemah, alergi pertama saya baru muncul saat kuliah, ketika saya sudah jarang olahraga (menari) lagi.
Gejala yang muncul pun berbeda-beda. Bisa berupa ruam, gatal-gatal, demam, bengkak, sesak, hingga anafilaksis (reaksi alergi yang berbahaya dan dapat mengancam keselamatan jiwa). Sedih ya, mau sembuh malah tambah sakit, hiks....
Wajib Lapor Sama Dokter
Alergi obat enggak bisa disembuhkan. Hanya bisa diminimalkan dengan cara menghindari pemicunya. Oleh karena itu, setelah mengetahui bahwa tubuh saya alergi terhadap obat tertentu, saya harus mencatatnya dan selalu mengkomunikasikannya dengan dokter yang baru saya temui. Sehingga dokter enggak akan meresepkan obat-obat tersebut dan menggantinya dengan yang lain.
Berikut riwayat alergi obat yang pernah saya alami:
- Waktu kuliah, saya pernah alergi karena obat antibiotik Amoxicillin. Niatnya ingin menyembuhkan radang tenggorokan, malah bibir saya yang bengkak, luka, dan berbekas hingga berminggu-minggu.
- Ketika melahirkan secara SC, setelahnya wajah saya bengkak (seperti korban KDRT sampai-sampai Mamah enggak bisa mengenali saya) karena alergi obat antinyeri Xevolac.
Pemeriksaan Alergi Obat
Dengan riwayat alergi obat seperti itu, tentu saya menjadi super waspada ketika harus mengkonsumsi obat. Makanya, kalau sakit, saya paling malas berobat ke dokter. Sebisa mungkin menghindari obat-obatan kimia dan memaksimalkan pemanfaatan obat-obatan tradisional. Tetapi ada masa ketika saya merasa membutuhkan bantuan dokter untuk menyembuhkan penyakit, sehingga saya pun terpaksa menelan obat kimia.
Oleh karena itu, saya penasaran sekali, bisa enggak mengetahui obat apa saja yang akan membuat saya alergi? Ada tesnya enggak? Berikut kutipan jawaban dari dr. Aprillia Putrie di grup Facebook Pasien Cerdas Indonesia.
Panel tes alergi yang saat ini banyak tersedia adalah tes alergi untuk debu, kutu, dsb. Panel tes alergi yang sekarang terdapat di pasaran/laboratorium belum mencakup tes alergi obat-obat tertentu. Karena jumlah obat yang beredar di masyarakat demikian banyaknya, dan tidak memungkinkan untuk mengujinya satu persatu. Bayangkan saja seandainya kita alergi terhadap obat batuk, artinya kita harus menguji masing-masing komponen obat tersebut (CTM, ambroxol, DMP, GG, belum lagi zat pembawanya seperti menthol, turunan alkohol, dsb).
Kesimpulannya, saya (dan semua penderita alergi obat) enggak akan bisa mengetahui obat apa saja yang dapat menyebabkan alergi sebelum mencobanya sendiri dan melihat reaksinya :(
Ketika Alergi Obat Muncul Lagi
Tiga jam setelah mengkonsumsi obat dari dokter gigi, rupanya alergi saya kambuh lagi. Tersangkanya ya kalau bukan Ciprofloxacin, berarti Ibuprofen. Tanda-tandanya, mata merah, berair, bengkak, dan sedikit pusing. Rasanya sama seperti habis menangis semalaman T_T
Ketika alergi obat terjadi lagi, ada dua hal yang harus saya lakukan. Pertama, menghentikan pemakaian obat yang dicurigai menjadi pemicu alergi. Kedua, segera menemui dokter. Setelah memastikan bahwa Puskesmasnya masih buka (setengah jam lagi), saya langsung menelepon Papah untuk menitipkan Jav. Akhirnya malah diantar sama Papah (beliau memang ayah siaga). Saat saya datang, petugas Puskesmas langsung meminta obat yang sudah saya konsumsi, mengkonsultasikannya dengan dokter, lalu menggantinya dengan yang lain (Clindamycin dan Paracetamol), serta memberikan tambahan obat antialergi, obat antibengkak, dan obat maag.
Alhamdulillah, obat yang baru ini enggak menyebabkan alergi. Bengkaknya pun berangsur-berangsur berkurang walaupun saya enggak meminum obat antialergi dan obat antibengkaknya. Takut kena maag, nanti malah menjadi tambah repot. Agar alerginya cepat sembuh, saya memilih untuk mengkonsumsi bahan-bahan alami yang mengandung antihistamin. Di antaranya madu serta buah-buahan dan sayuran yang mengandung vitamin C dan vitamin A.
Hmmm, semoga daftar obat yang membuat saya alergi enggak bertambah lagi deh. Dan yang pasti sih, semoga saya selalu diberikan kesehatan agar enggak perlu sering-sering mengkonsumsi obat kimia :)