![]() |
Sumber |
Beberapa minggu terakhir ini, Jav sedang gemar-gemarnya bermain bersama salah satu anak tetangga, sebut saja X. Setelah selama ini dikelilingi oleh anak-anak tetangga perempuan, wajar apabila dia senang sekali bermain dengan anak tetangga laki-laki. Umurnya pun sebaya, hanya berbeda satu bulan.
Jujur, saya tidak mengenal orang tua X. Keluarga mereka baru pindah beberapa bulan yang lalu. Tidak ada acara syukuran, oke lah. Tapi juga tidak berusaha memperkenalkan diri pada tetangga sekitar--saya. Hmmm… mungkin memang begini perilaku orang-orang zaman sekarang, sudah melupakan etika bertetangga.
Walaupun baru tinggal di rumah ini selama empat tahun, tapi saya sudah tinggal di komplek ini sejak lahir. Sebagai warga lama, sejak remaja hingga sekarang, saya lumayan aktif di komplek. Jadi tidak heran apabila sebagian besar warga di komplek ini sudah mengenal dan berhubungan baik dengan saya. Jadi, kalau ada tetangga baru yang tidak mau kenal ya sudah, saya sih tidak rugi.
Dulu, rumah saya merupakan bangunan pertama yang menempati kaveling baru di komplek ini. Kanan-kiri-depan rumah dikelilingi oleh tanah kosong. Ketika satu per satu rumah lain mulai dibangun, saya merasa sangat antusias karena akhirnya bisa mempunyai tetangga. Saya berkhayal bahwa nanti bisa bertukar resep masakan, bersama-sama menemani anak bermain di taman, atau saling menjaga anak ketika salah satu butuh pergi mendadak.
Sayangnya, khayalan saya belum pernah kesampaian. Jangankan bisa seakrab itu, kenal saja tidak. Tetangga-tetangga saya tersebut pindah dan tinggal begitu saja. Setiap melewati rumah saya, ya lewat saja, padahal saya sedang nangkring di depan rumah. Mau saya ajak senyum, malah pura-pura tidak melihat. Kesal? Tidak. Kecewa? Iya.
Kalaupun akhirnya kami kenal, itu karena saya yang SELALU menghampiri mereka ketika mereka sedang berada di halaman rumah. Padahal saya tipe orang yang sangat pemalu loh. Habis bagaimana lagi? Masa tinggal di lingkungan yang sama tapi tidak saling mengenal?
Bagi saya hubungan dengan tetangga seharusnya lebih erat daripada dengan saudara. Bukankah apabila terjadi sesuatu pada kita, tetangga yang akan tahu lebih dulu tahu daripada saudara. Jadi, siapa yang memperkenalkan diri terlebih dahulu tidak menjadi masalah.
Lucunya nih. Kemarin, Jav mengajak X main di dalam rumah. Awalnya X menolak, tapi menyerah juga setelah dibujuk oleh Jav. Yang membuat saya bengong yaitu ketika kakak perempuan X datang dan melarang X main di dalam rumah Jav. Sambil memasak di dapur, saya menguping kata-kata kakaknya X. Intinya, X tidak boleh main di dalam rumah Jav, karena nanti dimarahi mamanya. Ini--rumah Jav--rumah orang lain, keluarga mereka tidak mengenal ayah dan ibu Jav.
*Gubrak!* Tetangga masa gitu?
Alasan mamanya X untuk tidak membiarkan anaknya bermain di rumah orang asing memang bagus sih. Tapi, rasanya tidak pantas deh dia berbicara seperti itu selama dia--sebagai warga baru--belum memperkenalkan dirinya pada tetangga sekitar.
Saya sendiri belum pernah memiliki pengalaman menjadi warga baru. Tapi berdasarkan hasil pencarian dari berbagai sumber, berikut beberapa etika bertetangga untuk beradaptasi di lingkungan baru:
- Kalau ada dananya, mengundang tetangga sekitar untuk datang ke rumah. Syukuran sekaligus memperkenalkan diri.
- Mendatangi langsung rumah tetangga. Tidak perlu semuanya, cukup tetangga kanan-kiri-depan.
- Rajin nangkring di depan rumah.
- Murah senyum dan tidak malas menyapa tetangga.
- Aktif mengikuti kegiatan di lingkungan seperti arisan, kerja bakti, dan lain-lain.
- Rajin mengikuti pengajian atau--untuk laki-laki--rutin salat berjamaah di masjid.
Bukan hanya warga baru loh, untuk warga lama pun ada etikanya juga untuk menyambut tetangga baru, di antaranya:
- Menyambut atau minimal memberi senyum pada tetangga baru ketika melihat truk pengangkut barang di depan rumahnya.
- Menawarkan bantuan atau memberikan camilan ketika tetangga baru sedang sibuk pindahan.
- Meyakinkan tetangga baru agar tidak sungkan menghubungi apabila membutuhkan informasi.
Ada tambahan? :)