"Oh, normal? Padahal waktu Jav sesar ya. Hebat...."
"Gimana rasanya? 'Raos' nya ('enak' ya)?"
"Mending mana, normal atau sesar?"
Begitu beberapa komentar yang muncul dari kerabat, teman, dan tetangga ketika mengetahui bahwa kali ini saya melahirkan pervaginam. Jangankan orang lain, saya sendiri saja masih takjub kok, bisa VBAC (Vaginal Birth After Cesarean Section).
Meskipun rasanya berlebihan juga sih kalau disebut hebat. Karena pertama, jarak dari kelahiran sebelumnya sudah cukup lama, enam setengah tahun gitu loh, heuheu.... Dan kedua, waktu itu alasan operasi sesarnya lantaran air ketuban sudah rembes tapi pembukaan enggak bertambah padahal sudah diinduksi. Jadi ya wajar kalau sekarang saya bisa melahirkan pervaginam.
Selain berdoa agar diberi kelancaran dalam proses persalinan bagaimanapun caranya (pervaginam atau sesar), salah satu usaha saya agar bisa melahirkan pervaginam yaitu memilih dokter kandungan yang pro normal bukan yang terkenal sedikit-sedikit sesar. Alhamdulillah, ternyata pilihan saya dan suami untuk ditangani oleh dr. Annisa memang tepat.
Sejak awal kehamilan hingga menjelang HPL (Hari Perkiraan Lahir) saya sering bertanya pada beliau, kira-kira bagaimana proses persalinan saya nanti. Dengan riwayat sesar, memiliki alergi (sesak napas kalau kambuh), hemoroid yang sempat parah, terdapat 1 lilitan tali pusat, jujur saya merasa khawatir. Namun dr. Annisa selalu memberi jawaban yang menenangkan, "Bisa normal."
Menyenangkan deh kontrol kandungan sama beliau. Setiap USG, dr. Annisa enggak hanya mengecek keadaan seluruh organ tubuh janin, tetapi juga menjelaskannya kepada kami. Penting banget. Soalnya pengalaman sebelumnya bersama dokter-dokter lain, enggak ada yang mau repot-repot menerangkan sedetail itu.
Makanya, setelah bergalau ria beberapa kali pindah dokter dan rumah sakit, akhirnya saya dan suami mantap memilih untuk melahirkan bersama dr. Annisa di RSIA Humana Prima. Oiya, di RSIA Humana Prima, biaya melahirkan (baik pervaginam maupun operasi sesar) bisa ditanggung oleh BPJS. Enggak perlu surat rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat pertama. Langsung datang saja ke IGD. Berhubung kamar rawat inap yang sesuai dengan kelas saya sedang penuh, jadi suami hanya perlu mengeluarkan uang untuk selisih biaya kenaikan kelas.
Nah, sekarang kembali ke topik melahirkan pervaginam versus sesar. Kalau ditanya mending mana, saya hanya bisa meringis. Dua-duanya 'sesuatu', huhuhu.... Yup, jawaban saya pasti klise lah. Kalau melahirkan pervaginam, 'perjuangan'nya (mulas-mulas) terasa berat di awal. Sedangkan melahirkan melalui operasi sesar, 'perjuangan'nya (sakit bekas luka operasi) terasa berat setelah selesai.
Namun bagi saya pribadi, persalinan pervaginam kemarin terasa lebih traumatis. Mulas-mulasnya sih sudah jelas, wajar lah ya. Nah yang membuat saya enggak nyaman yaitu periksa dalamnya. Dari pukul 11 siang sampai setengah 4 pagi, saya diperiksa dalam 8 kali. Bayangkan, wilayah yang paling saya jaga tersebut diobok-obok sampai 8 kali, hiks.... Ditambah lagi episiotomi dan jahit-menjahit sesudahnya, huhuhu....
Operasi sesar juga jelas diobok-obok sih, dipakaikan kateter, tes alergi, dibelek, dan sebagainya. Tapi karena waktu itu kondisi saya antara sadar dan enggak sadar terus selanjutnya bius total, jadi enggak terlalu terasa, hehe....
Jadi begini cerita melahirkan kemarin. Saya mulai merasakan kontraksi mulai tanggal 30 Juli sore. Sejak awal selang waktunya sudah 5 menit sekali. Bahkan aplikasi contraction tracker berkali-kali mengingatkan saya untuk segera berangkat ke rumah sakit. Tapi karena masih terasa ringan, makanya saya santai saja.
Baru pada tanggal 1 Agustus, saya mengajak suami untuk berangkat ke rumah sakit. Pukul 11 siang, ternyata baru pembukaan 1. Berharapnya bisa pulang lagi ke rumah, tapi enggak boleh, soalnya kepala bayinya sudah turun banget. Saya pun masuk ke kamar rawat inap. Makan siang sudah siap, tapi masih enggak nafsu makan nasi. Saya hanya bisa makan buah dan macaroni schotelnya.
Pukul 3 sore, pembukaan naik menjadi 2/3. Saat itu, bidan membantu membuka jalan lahir. Rasanya? Enggak usah ditanya, huhuhu.... Suami memaksa saya untuk makan malam. Saya mencoba untuk menurut, tapi hasilnya malah jadi muntah. Akhirnya saya hanya makan biskuit dan minum sari kurma.
Pukul 7 malam, pembukaan naik lagi menjadi 3/4. Pukul 11 malam, saya mulai merasa kewalahan, pembukaan sudah naik lagi menjadi 4/5. Kepingin mengejan tapi belum boleh. Melelahkan karena setiap kontraksi, terasa sekali ada dorongan ke bawah, tapi harus ditahan. Maka saya dipindahkan ke ruang bersalin. Pukul 3 pagi, belum ada peningkatan, masih di pembukaan 4/5. Akhirnya dokter memutuskan untuk memecahkan ketuban saya. Barulah setelah itu terasa mulas yang aduhai :)
Lucu deh, saya meminta izin ke toilet pada bidan, karena seperti ingin BAB. Padahal pas senam hamil saya sudah diberitahu bahwa katanya melahirkan itu seperti BAB yang keras. Tapi malah lupa, heuheu. Tentu saja bidan langsung melakukan periksa dalam lagi. Dan taraaa... pukul setengah 4 pagi, pembukaan sudah lengkap. Cepat banget ya....
Dokter yang baru pulang pun dipanggil lagi. 20 menit kemudian saya bisa mulai mengejan setelah dokter datang kembali. Ketika mengejan, saya enggak merasakan pergerakan apa-apa. Makanya bingung. "Bener, dok?" tanya saya ragu. "Iya betul, terusin." Dan lahirlah Rashya pada pukul 4 pagi.
Untung rumah dokternya dekat dari rumah sakit, jadi beliau bisa bolak-balik mengecek keadaan saya. Padahal saya sempat pesimis, jangan-jangan malam itu dokternya tidur dan baru akan datang setelah pembukaan saya lengkap (seperti yang saya dengar dari pengalaman orang lain). Tapi ternyata dr. Annisa enggak begitu, kondisi saya dipantau terus. Terharu banget deh.
Bidannya juga sabar banget. Bersama suami terus menyemangati saya yang rasanya kepingin menyerah saja. "Yang, udahan...." ucap saya. "Maksudnya? Mau sesar?" pertanyaan suami membuat saya tercenung. Hmmm enggak juga sih. Kondisi saya dan bayi masih oke banget. Sudah mulas lama pula. Masa sesar.... Saya hanya berharap agar keadaan ini cepat selesai. "Sabar ya Bu, atur napas. Memang begini kalau melahirkan normal. Semangat ya, dede bayinya saja semangat," kata bidan.
Huaaa, ternyata begitu rasanya melahirkan pervaginam. Seru, heuheu.... Sesudahnya saya bisa langsung mencium Rashya dan melakukan skin to skin contact meskipun hanya setengah jam. Kemudian malamnya, kami sudah boleh pulang.
Alhamdulillah.... Terima kasih banyak buat teman-teman yang sudah ikut mendoakan. Tapi perjuangan masih panjang nih. Dimulai dari bergelut di seputaran dunia ASI dan popok, hihihi....